Inilah Salah Satu Sosok Pemimpin Yang Sangat Dirindukan Rakyat.. !!! Baca Selengkapnya... |
Malam semakin pekat. Kota
Madinah mulai hening dari hingar-bingar manusia. Sebagaimana biasanya, Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu keluar berteman sepi. Bukan untuk mencari pencitraan
diri. Bukan untuk mengais-ngais sensasi. Melainkan karena tanggung jawab dalam
mengemban amanah ummat. Ia harus keluar untuk melihat kondisi rakyatnya.
Mungkin saja, ada inspirasi yang bisa ia jadikan bahan untuk mengevaluasi
kebijakan dan kepemimpinannya.
Saat melewati sebuah kemah,
terdengar suara rintihan wanita. Umar radhiyallahu ‘anhu berjalan mendekat.
Seorang lelaki sedang duduk di samping tenda. Setelah ditanya, lelaki itu
mengaku berasal dari kampung, sedang istrinya di dalam tenda sedang berjuang
menahan sakit, karena hendak melahirkan. Di situ, tidak ada manusia lain
kecuali lelaki badui, istrinya dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Tanpa berpanjang kalam, Umar
radhiyallahu ‘anhu segera beranjak pergi, pulang menemui istrinya. “Maukah kamu
pahala besar yang sudah Allah giring kepadamu?” kata Umarradiallahu ‘anhu
kepada istrinya Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.
“Apa itu?” tanya istrinya.
“Ada seorang wanita asing
hendak melahirkan. Dan di sana tidak ada seorangpun yang membantu.” jelas
lelaki yang pertama kali digelari Amirul Mukminin itu.
“Ya, aku mau,” jawab Ummu
Kultsum radhiyallahu ‘anhamantap. Mereka berdua pun beranjak pergi, menuju
sebuah perkemahan badui, sambil membawa makanan.
Sampai di tempat, Ummu
Kultsum radhiyallahu ‘anha segera masuk tenda, menemui wanita badui yang hendak
melahirkan. Sedang Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan kayu bakar dan memasak
makanan. Tak ia pedulikan asap-asap yang menyelinap di sela-sela jenggotnya.
Lelaki badui itu hanya diam
menatap Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sorotan mata penuh heran. Seolah-olah
Allah telah mengirimkan kepadanya seorang penolong malam itu. Dan ketika
istrinya telah melahirkan, Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha berteriak memanggil
Umar radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul Mukminin, kabarkanlah kepada temanmu itu
bahwa anaknya laki-laki.”
Lelaki itu tersentak kaget.
Ternyata orang yang ada di depannya adalah Amirul Mukminin, seorang lelaki
alumni “Madrasah Nabawiyah” yang namanya menggemparkan dunia. Umar segera
menenangkan lelaki badui. Lalu memberikan makanan kepada Ummu Kultsum
radhiyallahu ‘anha agar menyuapi wanita badui tersebut.
Kemudian Umar radhiyallahu
‘anhu mengambil makanan lagi dan diberikan kepada lelaki badui. “Makanlah,
karena kamu sudah menahan kantuk semalaman.”
Begitulah Umar radhiyallahu
‘anhu melewati malam-malamnya. Mata selalu terjaga, demi kemakmuran rakyatnya.
Sehingga banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang kemudian
diubah, setelah mendapat inspirasi dari perjalanan malamnya. Mulai dari
perubahan masa pengiriman pasukan perang, yang awalnya tanpa ada batas waktu
dan berubah menjadi empat bulan. Kemudian pemberian santunan negara, yang
awalnya hanya untuk bayi yang telah selesai masa penyusuan, lalu diganti
menjadi diberikan kepada setiap bayi yang lahir. Dan masih banyak lagi.
Hal semisal itu hanya akan
dilakukan oleh seorang pemimpin yang memahami makna dan hakekat kepemimpinan
yang sesungguhnya. Bahwa memimpin itu adalah melayani. Memimpin itu adalah
memberi. Memimpin itu adalah mencintai. Memimpin itu adalah berempati. Memimpin
itu adalah mengayomi. Memimpin itu adalah melindungi. Memimpin itu adalah
menyayangi. Dan memimpin itu adalah memberikan keteladanan yang baik kepada
pengikutnya.
Dan selama hal ini tidak
dimengerti dengan benar oleh para pemimpin lalu tidak diaplikasikan, maka
selamanya kepemimpinan itu tidak jauh beda dengan perbudakan. Yang terjadi
adalah eksploitasi-eksploitasi di atas pilar kedzaliman. Seperti tuan dan
pesuruh. Seperti majikan dan pembantu. Karena tidak ada jembatan cinta yang
menyatukan mereka.
Hari ini, banyak orang
mengidentifikasi kepemimpinan dengan kekuasaan. Sehingga yang mereka lakukan
adalah berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan, agar bisa mendapatkan
kekuasaan. Lalu kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk memimpin, demi
mencapai tujuan dan ambisinya.
Kepemimpinan hanya diartikan
dari satu sisi saja, MENGUASAI. Dengan menafikan sisi cinta, kasih sayang,
perlindungan, pelayanan, pemberian, pengayoman serta empati kepada rakyat.
Padahal pemimpin yang sesungguhnya justru bekerja dengan melayani. Itulah
sejatinya yang harus dilakukan seorang pemimpin.
Pemimpin adalah pelayan.
Sebagaimana layaknya pelayan, maka ia akan menikmati apapun setelah yang
dilayani menikmatinya. Ia akan menyantap hidangan setelah rakyat menyantapnya.
Karena ia harus “meladeni” rakyat dengan segala kebutuhannya.
Hakikat kepemimpinan itulah
yang sangat dipahami oleh Umar radiallahu ‘anhu. Sehingga dia bersumpah, “Aku
tidak akan makan daging sampai orang-orang faqir kenyang.”
Suatu ketika, seorang
laki-laki datang menemui Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhudan berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, seorang pemimpin sepertimu terlihat sangat lesu dan pucat
karena hanya makan roti kering. Kamu terlalu menyiksa diri. Padahal, dengan
kekuasaan, kamu bisa meminta uang kepada kas negara (baitul mal).”
Umar radhiyallahu ‘anhu
menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa menjadi pemimpin rakyat yang baik, bila
aku tidak pernah merasakan derita yang mereka rasakan?”
Inilah bentuk cinta yang
tulus seorang pemimpin kepada rakyatnya. Cinta sejati yang jauh dari
kemunafikan. Cinta murni yang jauh dari kepentingan pribadi, keluarga, kelompok
maupun golongan. Bersih dari polusi politisasi. Yang ada adalah kejujuran
pengabdian kepada rakyat. Yang ada adalah ketulusan pelayanan kepada rakyat.
Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Seandainya ada domba yang mati di tepi
sungai Eufrat, maka aku mengira bahwa Allah akan menanyakannya kepadaku pada
hari kiamat, mengapa aku tidak memperbaiki jalannya.”
Rakyat ini sudah merindukan
pemimpin yang bisa memesrai mereka di setiap saat. Rakyat butuh pemimpin yang
bisa membimbing dan “me-ngemong” mereka. Rakyat mendambakan pemimpin yang jujur
dan tulus dalam mencintai mereka.