![]() |
| Heboh..!!! "Ternyata Segini Mahar Pernikahan Pasangan Ini"... Jomblo Jangan Baca.. Nanti Tambah Baper...!!! |
JENEPONTO, TRIBUN-TIMUR.COM
-- Kabar 'pernikahan dini' di Dusun Bonto Birangeng, Desa Gantarang, Kecamatan
Kelara, pedalaman Jeneponto, dibantah otoritas desa setempat.
Kepada Tribun, Kamis (9/6)
pagi, ibu Kepala Desa Hajjah Muliati dan Imam Desa Haji Saharuddin, menjelaskan
parawakan warga desanya memang mungil, awet muda, dan gesit, laiknya jarang
(kuda) Jeneponto.
"Kita merekomendasikan
dan memberi izin kawin berdasarkan KTP dan KK. Memang itu anak (Rudi) seperti
anak-anak tappissa (ABG) diliat seperti ada satu tetangga dulu begitu
juga," katanya kepada Tribun.
Netizen di Sulsel dihebohkan
dengan foto postingan netizen Iwank Saputra, yang juga fotografer perkawinan di
Facebook.
Foto pasangan mempelai yang
menikah Minggu (29/5/2016) itu, terlihat masih culun.
Imam Desa menceritakan, di
hari pernihakan ala kampung, mahar pernikahan (uang panaik) dari Rudi sebesar
Rp 65 juta.
"Ada juga sunrang
(hibah tanah ke mempelai wanita) kebun seluas 5 Are," katanya.
Si mempelai pria, Rudi, oleh
si fotografer dia sebut baru habis sunat (13 tahun), dan wanita Selfiana, lebih
setahun.
"Saya marah ini Pak.
Mau saya cari itu fotografer pernikahan anak saya yang menyebarkan foto itu,
tanpa minta izin," jelas Sudirman.
Sudirman mengatakan dia
sudah saya bayar panjar foto, tapi belum menerima album foto dan video
pernikahan anaknya.
Sudirman memperlihatkan
salinan asli akta kelahiran putranya.
"Ini, buktinya anak
saya lahir 16 Mei 1997. Tahun ini 19 tahun, " kata petani jagung kuning
itu.
Si istri, Selfiana lahir di
Kelara, 2 Juni 1996, atau lima hari lalu berulang tahun ke-20.
Rudi adalah putra pasangan
Haji Sudirman dan Hajjah Batih.
"Rudi kita sunnat,
waktu kelas I SD,. Bohong itu, kalau anak saya disunat tahun lalu,"
ujarnya.
Si ayah beralasan,
,menikahkan anaknya dengan Selfiana yang masih kerabat jauh, untuk menghidari
efek pergaulan modern.
"Kita lihatmi sekarang
itu anak-anak banyak kejadian diberita kawin lari, makanya kita nikahkan karena
pacaran ji memang dan suka sama suka, bukan kawin paksa," ujarnya.
Selfiana ikut mendampingi
ayah mertuanya saat menemui Tribun.
"Kalau Rudi, sejak
subuh sudah ke gunung mi, cari makanan untuk jarang-na (kuda)," kata sang
istri.
Hajjah Batih, menyebut
karekter nakanya pemalu dan pendiam.
Dia memang kurus, kecil dan
terlihat seperti anak-anak, karena sering bekerja keras di kebun dan cari pakan
kuda.
"Anakku sempat sekolah
di SMP 4 Kelara di Gantarang," katanya.
Usia 50-an, Orangtua Sudah
Bercicit
HINGGA awal dekade tahun
2000-an, Gantarang, termasuk daerah terisolir.
Tahun 2014 lalu, oleh Bupati
Ichsan Iskadar, merasa bangga karena Desa Gantarang, mewakili Jeneponto untuk
Lomba Desa Teladan tingkat Provinsi di Sulsel.
Julukan "Desa
Texas", melekat bagi warga Jeneponto di pesisir.
Julukan ini, wajar, sebab
sejak dekade 1950-an, kampung ini memang jadi "persembuyian"
gerombolan, para kerabat dan ex pejuang DI-TII.
Di awal era 2000-an saat
forum massa marak untuk menangkal kriminal di Sulsel, kampung Gantarang, dan
Tolo. Selain kampung Tabbae' di Bone.
Kampung Tolo, yang
berbatasan dengan Gantarang, di masa pra-kemerdekaan juga, merupakan kerajaan
sendiri, yang tak bergabung dan tunduk dengan Kerajaan Binamu, Kerajaan Gowa,
atau Arungkeke.
Lokasi kampung ini memang di
pedalaman. Jalur ke sana berkelok, berbukit, dan amat licin dan basah. Suhu
rata-rata sekitar 20-21 derajat.
Dari ibu kota kabupaten,
berjarak sekitar 35 km ke utara.
Sumber : http://makassar.tribunnews.com
