Sabtu, 15 April 2017

MENGGIS JIKA BACA INI!!! Perjuang Ayah Membawa Bayinya Di Dalam Tas Dengan Angkutan Umum, Karena Tak Mampu Sewa Ambulan

MENGGIS JIKA BACA INI!!! Perjuang Ayah Membawa Bayinya Di Dalam Tas Dengan Angkutan Umum, Karena Tak Mampu Sewa Ambulan

Lima jam perjalanan darat memakai angkutan umum dari Kota Bengkulu ke Kabupaten Kaur, dilakoni Aspin dengan perasaan sesak. Dia sebenarnya ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, situasi tak membolehkannya menangis. Sembari menahan air yang sudah menumpuk di pelupuk, ia lantas lebih erat mendekap tas plastik, tempatnya menyembunyikan jenazah si buah hati.
Aspin Ekwandi, suami Sri Sulismi, sembunyi-sembunyi membawa jenazah bayinya dalam tas plastik pakaian di dalam angkutan umum untuk dibawa pulang dari rumah sakit. Sebab, ia tak mampu membayar sewa mobil ambulans.
“Aku terpaksa membawanya naik travel (angkutan umum). Tak sanggup aku bayar uang sewa ambulans. Aku sengaja memasukkannya ke tas pakaian, supaya sopir tak tahu. Kalau ketahuan, aku tak boleh naik, pasti,” tutur AspinJumat (14/4/2017).
Kisah sendu tersebut bermula ketika Sulismi, sang istri, divonis dokter harus cepat-cepat melahirkan anak keempat yang tengah dikandungnya. Persalinan prematur melalui operasi caesar itu harus dilakukan, karena si jabang bayi didiagnosa memunyai kelainan paru dan jantung.
Berbekal kartu BPJS, warga Desa Sinar Bulan, Kecamatan Lungkang Kule, Kabupaten Kaur itu akhirnya sepakat sang istri melahirkan melalui operasi caesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kaur, Rabu (5/4/2017) pekan lalu.
Persalinan berjalan lancar. Aspin lega, buah hatinya lahir selamat, pun sang istri. Namun, rasa senang itu tak bertahan lama.
Dokter RSUD Kaur meminta Aspin segera membawa si mungil yang belum bernama itu ke RSUD M Yunus, di Kota Bengkulu, agar mendapat perawatan intensif terkait kelainan bawaan.
Aspin, ditemani seorang kerabat perempuannya, bergegas membawa si jabang bayi ke kota keesokan harinya, Kamis (6/4). Sementara Sulismi tetap berada di RSUD Kaur, karena belum bisa banyak bergerak seusai dioperasi.
”Anak kami sudah sempat satu malam dirawat di Kota Bengkulu. Pertama dirawat di ruang UGD (unit gawat darurat), setelahnya di ruang anak untuk menangani kelahiran prematur. Tapi, dia hanya berumur dua hari. Besoknya (Jumat; 7/4), dia sudah tak ada,” tuturnya.
Rasa sedih karena kehilangan si buah hati, menyelimuti Aspin. Ia lantas berniat selekas-lekasnya mengebumikan bayinya di kampung halaman. Hari itu juga, ia berniat pulang.
Aspin hendak melempangkan perjalanan terakhir anaknya menuju ke kampung halaman. Karenanya, ia menanyakan perihal penyewaan mobil ambulans kepada staf administrasi RSUD M Yunus.
Oleh rumah sakit, Aspin dimintakan Rp3,2 juta agar bayinya yang sudah tak bernyawa bisa memakai mobil ambulans sampai ke kampung.
”Aku tak punya duit segitu. Sudah kutawar, tapi petugas bilang tak bisa ditawar-tawar karena itu harga pas dari rumah sakit,” kenangnya.
Aspin panik, karena tak mungkin membawa jenazah bayinya memakai angkutan umum. Mencarter angkutan umum juga tak bisa menjadi pilihan, karena memang tak punya uang. Rasa sedih semakin pekat menyelimuti pikirannya.
Meski sudah putar otak mencari cara mendapatkan uang demi menyewakan buah hatinya ambulans, Aspin akhirnya menyerah.
Ia bersama kerabat bersiasat, memasukkan jasad bayi yang masih merah itu ke dalam tas plastik yang sebenarnya dibawa untuk menyimpan pakaian. Dengan begitu, ia bisa menggunakan mobil travel.
"Kebetulan kerabatku perempuan, kami berpura-pura menjadi suami-istri yang mau pulang kampung. Jadi sopir travel tak curiga isi tas itu,” tuturnya.
Namun, itu bukan berarti perjuangan Aspin membawa jasad bayinya tak menemui kendala selama perjalanan.
Ketika di dalam mobil, sopir sempat meminta Aspin meletakkan tas yang dipegangnya ke bagasi. Mendapat perintah seperti itu, rasa panik kembali menjalar di pikiran Aspin.
Tapi, Aspin akhirnya mendapat akal. Ia mengatakan kepada sopir, tas plastik itu berisi kue pernikahan yang hendak diantarkan ke saudaranya di kampung.
"Kalau diletakkan di bagasi, kuenya akan hancur bang,” kata Aspin menirukan alasannya yang dibuat-buat saat itu.
Lima jam Aspin terus mendekap tas berisi jenazah bayinya tersebut. Ia mengakui, sebenarnya ingin menangis sekeras-kerasnya karena tak bisa membawa secara layak buah hatinya ke tempat peristirahatan terakhir.
Tapi Aspin takut, jika menangis, maka sang sopir dan penumpang lain akan curiga. Alhasil, selama perjalanan, ia harus sekuat-kuat tenaganya menahan tangis. Si kerabat yang juga sedih, terus berupaya menguatkan Aspin yang tengah mendekap si bayi.
Akhirnya, perjuangan Aspin berhasil. Ia mampu sampai ke kampung dan memakamkam bayi mungilnya.
"Sewaktu di perjalanan itu, aku sebenarnya sempat menangis diam-diam, tak bersuara. Aku peluk dia dan minta maaf.”